Sunday, October 26, 2008

Pao, Senhor?

Usianya barangkali tak lebih dari enam tahun. Berwajah kotor, bertelanjang kaki, berkaos compang-camping, dan berambut kusut. Anak lelaki kecil ini tak berbeda dengan ratusan ribu anak jalanan lainnya yang berkeliaran di kota Rio de Janeiro.

Saya sedang berjalan ke kafe terdekat untuk minum kopi saat anak itu datang dan mengikuti di belakang saya. Saya mendengar langkah kakunya, lalu saya berhenti dan menoleh ke belakang.

"Pao, senhor?" (Roti, Tuan?)


Di Brazil, setiap hari kita mendapat kesempatan untuk membelikan permen atau roti bagi anak-anak. Setidaknya itu yang dapat dilakukan. Saya ajak anak itu ikut dengan saya, masuk ke sebuah kedai.

"Buatkan secangkir kopi untuk saya dan berikan makanan untuk sobat kecil ini." Anak itu segera menghambur ke stand roti dan mulai memilih roti kesukaannya. Biasanya setelah mengambil makanannya, anak-anak ini akan bergegas pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Namun sobat cilik ini cukup mengagetkan saya.

Kedai itu bentuknya bar memanjang dan terbagi dua. Satu untuk menjual roti dan satunya lagi untuk menjual kopi. Ketika anak itu sedang memilih roti, saya pergi ke tempat satunya untuk minum kopi. Ketika menunggu kereta untuk pulang, saya masih melihat anak itu. Ia berada di depan pintu masuk, memegang rotinya, dan berjinjit memandangi setiap orang yang masuk. "Apa yang sedang dilakukannya?" Pikir saya.

Ia melihat saya dan langsung menghambur ke arah saya. Ia datang dan berdiri di hadapan saya. Lalu ia menyungging seulas senyum yang mampu meluluhkan hatu Anda dan berkata, "Obrigado." (Terima kasih.) Dan sambil menggaruk pergelangan kakinya yang gatal dengan jempol kaki satunya, ia menambahkan. "Muito obrigado." (Terima kasih banyak.)

Tiba-tiba ingin rasanya saya membeli seluruh isi kedai ini untuknya.

Tetapi sebelum saya sempat mengucapkan sepatah kata pun, anak itu sudah berbalik dan menghambur ke luar.

Ketika menulis kisah ini, saya masih berdiri di kedai dengan kopi yang sudah dingin, dan saya terlambat untuk mengajar. Namun keterkejutan yang saya alami setengah jam yang lalu belum hilang. Dan saya pun merenungkan pertanyaan berikut: Jika hati saya saja tergerak oleh seorang anak jalanan yang mengucapkan terima kasih untuk sebuah roti, tidakkah hati Allah jauh lebih tergerak ketika saya dengan sungguh-sungguh mengucap syukur atas berkat-berkat yang telah dicurahkannya pada kehidupan saya.

- Max Lucado (Warta Jemaat)

Ya, saya juga pernah memberikan seorang pengemis yang datang ke rumah saya. Ia terlihat hitam, kusuh, lagi kotor. Pengemis wanita ini berdiri di depan rumah saya, mengeluarkan tangannya yang menandakan ia meminta uang.

Kemudian hati saya tergerak oleh belas kasihan. Kemudian saya mendekatinya dan memberikan uang seribu di tangannya. Ya, seribu yang ada di kantung saya. Ia lalu menerima uang seribuan itu. Lalu, hal yang begitu mengena adalah ia tersenyum dan senyumnya itu begitu polos dan indah. Padahal saya hanya memberikan ia uang seribu. Senyum itu masih bisa saya ingat sampai saat ini. Senyum itu begitu indah di antara wajah dan tubuh yang kotor, hitam itu. Senyum itu berasal dari hatinya. Itulah keindahan senyum yang bukan dibuat-buat. Senyum itu berkali-kali lipat lebih indah dibandingkan dengan senyum yang dipaksakan, dan senyum hanya untuk basa-basi.

Belajarlah tersenyum dengan hatimu. Bayangkan senyum seorang pengemis saja bisa membuat orang lain tertegun. Berikanlah senyuman dari hatimu untuk orang-orang yang kita kasihi di sekitar kita. Senyum kita bisa membuat orang-orang di sekitar kita lebih bahagia.

No comments:

Post a Comment